11 Desember 2015

Materialistis

Sejak saya menjadi dosen, banyak yang bertanya kepada saya: "Yakin mau jadi dosen? Gajinya bukannya tidak seberapa?" Juga: "Yakin mau jadi dosen? Memang cukup buat hidup?" Dan pertanyaan-pertanyaan sejenis.

Saya pikir jadi dosen itu kan profesi yang mulia ya. Kenapa ya profesi yang mulia ini masih sering perlu dibarengi dengan "komitmen" untuk "hidup susah" atau "pas-pasan".

Kenapa bisa, profesi yang seharusnya merupakan profesi yang terhormat, profesi yang akan bisa mencetak CEO masa depan sebuah perusahaan, penemu teknologi baru, pengusaha sukses, pembangun bangsa dan negara Indonesia di masa depan ini, harus menghadapi pilihan yang sangat sulit: mau jadi dosen (atau tenaga pengajar lainnya) ATAU mau hidup enak dan punya materi berlimpah.

Faktanya pendapatan menjadi seorang dosen memang tidak setinggi jika seseorang mengejar karir di korporat. Kenapa bisa begitu? Sejujurnya saya juga tidak tahu. Hanya saja saya tidak ingin mencari siapa yang salah.

Yang tidak pas, menurut saya, adalah anggapan semua pihak bahwa menjadi dosen itu adalah sebuah pilihan karier yang perlu dijalani dengan "keikhlasan". Sehingga membuat seorang dosen merasa "berdosa" jika dirinya ingin mendapatkan imbalan materi, melebihi imbalan lainnya (penghargaan, rasa hormat),  sebagai timbal balik atas pekerjaan yang dilakukannya.

Kenapa jika seorang manajer di sebuah perusahaan mendapat kenaikan gaji atau bonus karena mencapai target penjualan, atau karena performanya baik,  maka manajer tersebut dikatakan sebagai manajer yang hebat, bahwa hal itu sudah sepantasnya terjadi, dan berbagai cap positif lainnya akan dialamatkan kepada manajer tersebut.

Namun, jika seorang dosen, atau tenaga pendidik manapun, di institusi pendidikan manapun, memiliki performa yang baik, dan mengharapkan imbalan apapun selain ucapan terima kasih dan penghargaan non-materi lainnya (misalnya saja: mendapatkan bonus berupa uang karena karya penelitiannya dipublish di jurnal internasional, mampu mendampingi mahasiswa lomba dan berhasil menjadi juara pertama, mendapatkan kenaikan gaji karena performanya yang baik dalam mengajar) maka sudah pasti dosen itu akan dicap sebagai dosen yang materialistis.

Mengapa anggapan seperti itu yang muncul? Bukan hanya dari masyarakat umum, bahkan dari lingkungan tenaga pendidik sendiri juga merasa malu jika mereka menginginkan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Membicarakan soal termin kenaikan gaji, soal pendapatan atau bonus yang akan didapat, adalah hal yang tabu dibicarakan antar "karyawan" (dosen) di "perusahaan" (universitas).

Saya setuju bahwa institusi pendidikan tidak harus disamakan dengan korporasi. Saya hanya tidak mengerti mengapa adalah hal yang buruk bagi tenaga pendidik untuk mengharapkan imbalan berupa materi? Toh ini adalah pekerjaan kami satu-satunya, profesi kami, kami makan dari pekerjaan ini.

Jika diharuskan untuk mengajar dengan sepenuh hati, berkomitmen dan tidak melakukan pekerjaan lain di luar pekerjaan utama sebagai pengajar, lalu kenapa seolah-olah masyarakat memberikan stigma buruk terhadap tenaga pengajar yang mengharapkan imbalan materiil dari kerja kerasnya?

Tidakkah menjadi ironi yang amat sangat, jika seorang dosen di kemudian hari bisa sampai kesulitan menyekolahkan anaknya, karena tidak memiliki cukup uang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar