28 November 2011

Play your heart out

Tulisan ini terinspirasi dari banyak tulisan-tulisan dan buku-buku yang pernah saya baca, banyak pembicara-pembicara yang saya dengar, film-film yang saya tonton, dan hasil obrolan teman-teman saya akhir-akhir ini.

Semua polanya rata-rata sama : berbicara ngalor-ngidul tentang segala macam hal (olah raga, film, iklan, fashion, teknologi), berujung pada mempertanyakan mengapa di Indonesia tidak ada prestasi yang menonjol dari bidang yang kita bicarakan tersebut. Mengapa kita tidak bisa menjadi yang terbaik? Yang terkreatif? Yang terinovatif?

Saya tidak tahu ini benar atau tidak, tapi menurut saya, jawabannya adalah karena kita tidak melakukan sesuatu yang kita cintai sebagai pekerjaan kita. Dengan kata lain, kita tidak melakukan apa yang menjadi passion kita, apa yang menjadi kesenangan kita.

Kalau menurut Pandji dalam bukunya Nasional.is.me : jika kita bekerja, bukan berkarya, kita akan sangat sulit sekali menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Bekerja hanya menggunakan otak, tidak dengan hati. Berkarya, lain lagi. Kita menyerahkan segenap jiwa raga kita (disamping otak kita tentu saja) untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Alhasil, didapatkanlah hasil yang luar biasa darinya.

Wawancara Martin Scorsese yang dimuat majalah Fast Company edisi Desember 2011-Januari 2012 bercerita tentang film terbarunya Hugo yang merupakan film animasi 3D. Scorsese berusia 69 tahun, telah terlibat di dalam 22 film, dan memenangkan satu Oscar. Dalam film Hugo ini, Scorsese bercerita bahwa ada sebuah adegan berdurasi hanya beberapa detik, dan membutuhkan waktu 89 hari untuk me-rendernya. Bayangkan! 89 hari! Dan ia memutuskan untuk tetap tidak menghapuskan adegan itu!

Inilah, kawan, yang menurut saya pantas disebut BERKARYA.

Mike Tyson sang petinju legendaris yang dulu selalu terkenal berhasil meng-KO lawannya sebelum ronde ke-5 selalu berlatih habis-habisan berminggu-minggu sebelum pertandingan tersebut. Jika satu ronde di tinju adalah 3 menit, berarti dia berlatih berminggu-minggu untuk bertanding selama 15 menit.

Usain Bolt, pemegang rekor lari 100 m pria dengan catatan waktu 9,58 detik. Berbulan-bulan menyiapkan dirinya untuk pertandingan. Berbulan-bulan waktu dihabiskan untuk 10 detik pertandingan.

Totalitas inilah agaknya yang membedakan pecundang dari pemenang.

Benar, totalitas. Dan darimana totalitas yang luar biasa ini berasal? Menurut saya, cinta jawabannya.
Karena dengan mencintai pekerjaan kita, semua hal yang dianggap pekerjaan berat hanya akan menjadi permainan yang mengasyikkan.

Dunia akan menjadi taman bermain kita.

Donny Deutsch dalam bukunya The Big Idea mengatakan, inilah petunjuknya :
Saat Minggu malam terasa seperti Jumat malam, maka kamu sudah berada di pekerjaan yang tepat.

Sudahkah Minggu malam kita terasa seperti Jumat malam?

Ayo, mari kita berkarya!

Senin, 28 November 2011
10.10 pm

Kalah Terhormat (?)

Kekalahan Indonesia U-23 dari tim Malaysia U-23 di cabang final sepakbola Sea Games 2011 tanggal 21 November 2011 kemarin agaknya berhasil memberikan “stimulus” yang cukup besar buat saya untuk memutuskan kembali menuangkan pikiran saya dalam tulisan ini. Entah kenapa, semua “unek-unek” di otak ini rasanya harus disampaikan.

Yang membuat saya tidak habis pikir dan yang membuat saya “kesal” adalah setelah kekalahan tersebut, banyak sekali orang yang mengatakan tetap bangga dengan timnas, kalah terhormat, tetaplah pulang dengan kepala tegak, dan kata-kata pujian lainnya seolah timnas adalah tim yang juara malam itu.
Tanpa bermaksud untuk mengecilkan makna perjuangan para pemain timnas, menyinggung pihak manapun dan tanpa mencoba memberikan penilaian terhadap pribadi orang lain, saya hanya merasa bahwa kata-kata pujian itu bukanlah hal yang pantas diterima oleh para pemain timnas. Kalau dengan menjadi juara dua saja timnas kita sudah dipuja-puja seperti itu, kapan mereka akan punya semangat untuk menjadi juara pertama?

PERTAMA. The Absolute Best.

Tidak ada juara dua yang tercatat dalam sejarah, tidak ada orang yang ingat siapa juara dua cabang sepak bola Sea Games 2009 lalu, tidak ada yang ingat juara dua Euro 2008, tidak ada yang ingat siapa juara dua piala dunia 2010.

Herannya, kenapa kita selalu bangga dengan gelar “hampir” tersebut?

Di piala Asia lalu, kita menang 1-0 dari Bahrain, imbang 1-1 dengan Arab Saudi, dan kalah 0-1 dari Korea Selatan. Seusai piala Asia tersebut, semua orang langsung mengatakan perjuangan timnas kita sudah LUAR BIASA. Kita HAMPIR dapat mengimbangi tim-tim besar langganan piala dunia.

Piala AFF 2010, kita lagi-lagi “hampir” menjadi juara. Dan hampir kebanggaan kita yang terbaru adalah kita “hampir” menjadi juara di Sea Games 2011 kemarin.
Pertanyaan selanjutnya, lalu kenapa? Ke mana semua “hampir” itu membawa kita? Bukankah itu hanya kebanggaan semu?

Kalau mau dibilang bahwa juara memang hanya hasil akhir, yang penting kita telah bermain baik. Apakah benar kita bermain baik di Sea Games 2011 kemarin? Kita menang lawan Laos yang memang anak bawang, menang lawan singapura yang 10 pemain, dan Thailand yang 9 pemain. Di kandang sendiri. Kita kalah lawan Malaysia, dua kali. Itu dari segi hasil.

Dari segi teknik permainan? Saya memang bukan dewa sepakbola, tapi rasanya dari segi teknik bermain pun timnas kita tidak bermain secara kolektif, secara taktis. Tidak tercipta sebuah pola permainan yang jelas. Tidak ada operan-operan yang memperlihatkan bahwa ini adalah sebuah gol hasil kerja sama tim. Strategi kita adalah : mengandalkan skill individu alias kecepatan dari penyerang-penyerang kita untuk menerobos pertahanan lawan.

Kemana semua kebanggaan “hampir” menang tersebut membawa kita? Tidak kemana-mana menurut saya, kecuali membawa kita ke kepuasaan diri yang terlalu dini.

Saya bakal cinta timnas Indonesia, sampai mati. Karena itu saya menulis tulisan ini.
Ini sumbangan saya, yang walaupun mungkin tidak banyak berarti, tapi semoga bisa memberikan pandangan baru, pola pikir baru terhadap cara kita melihat kemenangan atau kekalahan.

Supaya timnas kita bisa Berjaya, menjadi yang nomor 1. Bukan hanya HAMPIR nomor 1.

Rabu, 23 November 2011
11.50 pm