09 Desember 2011

Pergi sebagai pahlawan, pulang sebagai legenda

Pada 30 November 2011 yang lalu, LA Galaxy, klub sepakbola asal Amerika Serikat melakukan pertandingan eksebisi ke Indonesia. Yang akan menjadi lawan adalah tim Indonesia Selection, yaitu sebuah tim yang akan diisi oleh gabungan antara pemain timnas senior dan junior Indonesia. Nama-nama seperti Bambang Pamungkas, M. Ridwan, Firman Utina, dan kawan-kawan akan bersanding dengan bintang-bintang baru Indonesia U-23 yang kemarin baru saja bertanding di Sea Games 2011 seperti : Patrich Wanggai, Egi Melgiansyah, Andik Vermansyah, dan lainnya.

Laga persahabatan ini pun ditunggu masyarakat dengan cukup antusias, tidak hanya karena David Beckham sang ikon sepakbola dunia, yang sekarang bermain untuk LA Galaxy juga akan turut serta ke Indonesia, namun LA Galaxy juga merupakan tim yang berkualitas karena menyandang predikat juara Liga Amerika Serikat 2011 atau yang lebih dikenal dengan Major League Soccer.

Singkat cerita pertandingan berjalan dengan tempo yang cukup lambat, layaknya pertandingan eksebisi pada umumnya dan cukup disayangkan terlepas dari baiknya permainan Indonesia Selection, pertandingan berakhir dengan skor 1-0 untuk keunggulan LA Galaxy.

Di tulisan saya ini, saya tidak ingin membahas mengenai pertandingan yang terjadi antara kedua kesebelasan. Yang menarik perhatian saya adalah cerita tentang salah satu punggawa yang memperkuat Indonesia Selection pada waktu itu, Andik Vermansyah.

Permainan Andik Vermansyah, salah seorang gelandang yang saat ini memperkuat Persebaya 1927 pada waktu melawan LA Galaxy mendapat pujian secara khusus dari Bruce Arena, pelatih tim juara MLS 2011 tersebut. Demikian juga David Beckham, memuji penampilan Andik dan memberikan penghormatan dengan meminta Andik untuk bertukaran seragam dengannya di akhir pertandingan.

Lalu berita yang terakhir yang tak kalah membuat bangga adalah Benfica, klub raksasa asal Portugal dikabarkan menaruh minat pada Andik. Benfica berniat memboyong Andik dan melatihnya di Eropa.

Ketertarikan Benfica terhadap Andik ternyata memang sudah dari awal 2011. Kebetulan Divaldo Alves (pelatih Persebaya 1927 sekarang) dulunya merupakan direktur pemandu bakat dari Benfica dan memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Rui Costa, direktur olah raga di Benfica saat ini.

Pada suatu kesempatan, Alves memberikan video permainan Andik kepada Rui Costa dan agaknya penampilan impresif Andik berhasil memenangkan hati direktur olah raga Benfica ini.

Kalau saja berita ini benar adanya, dan benar nantinya Andik bakal bermain di klub Eropa (dan saya sungguh-sungguh berharap Andik jadi bermain ke Eropa), apalagi jika nantinya Andik bisa meraih sukses besar di Eropa, maka cerita Andik Vermansyah ini akan bisa menjadi inspirasi bagi semua anak-anak di seluruh Indonesia bahwa kita BISA MERAIH MIMPI.
Bahwa tidak ada yang tidak mungkin!

Mengapa demikian?

Karena bagi yang belum tahu, cerita hidup Andik sangatlah inspirasional.

Ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Andik kecil (dari dulu sudah mengidolakan Persebaya) tidak pernah absen saat Persebaya bertanding. Namun, tidak hanya menonton pertandingan, Andik juga menjadi pedagang asongan, menjual makanan dan minuman untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarganya.

Sepatu sepak bola pertamanya, ia beli dengan hasil keringatnya sendiri dari berjualan makanan dan minuman di sekitar stadion tersebut (konon kabarnya hingga kini Andik masih memakai sepatunya tersebut). Setelah membeli sepatu bola, ia kemudian ikut berlatih dengan Persebaya untuk mengejar mimpinya menjadi seorang pemain sepak bola.

Kerja keras dan kegigihan Andik membuahkan hasil. Penampilannya yang cukup baik di Persebaya membuatnya dipanggil memperkuat tim PON Jawa Timur. Lalu penampilannya yang impresif kembali menyita perhatian pelatih Rahmad Darmawan dan membuatnya dipanggil timnas U-23 yang berlaga di Sea Games 2011 kemarin.

Sisanya cerita yang sudah kita semua tahu.

Saya sangat berharap bahwa Andik tidak dulu menjadi besar kepala dan tetap berusaha keras untuk mengembangkan bakatnya.

Andik,
Bermainlah dengan senang sampai ke seberang dunia!
Beritahu seluruh dunia bahwa Indonesia punya pemain hebat.
Beritahu anak-anak di seluruh Indonesia, semua orang di seantero tanah air,
Bahwa tidak ada yang tidak mungkin asalkan kita mau berdoa dan berusaha.

Pergi sebagai PAHLAWAN,
Pulang sebagai LEGENDA

28 November 2011

Play your heart out

Tulisan ini terinspirasi dari banyak tulisan-tulisan dan buku-buku yang pernah saya baca, banyak pembicara-pembicara yang saya dengar, film-film yang saya tonton, dan hasil obrolan teman-teman saya akhir-akhir ini.

Semua polanya rata-rata sama : berbicara ngalor-ngidul tentang segala macam hal (olah raga, film, iklan, fashion, teknologi), berujung pada mempertanyakan mengapa di Indonesia tidak ada prestasi yang menonjol dari bidang yang kita bicarakan tersebut. Mengapa kita tidak bisa menjadi yang terbaik? Yang terkreatif? Yang terinovatif?

Saya tidak tahu ini benar atau tidak, tapi menurut saya, jawabannya adalah karena kita tidak melakukan sesuatu yang kita cintai sebagai pekerjaan kita. Dengan kata lain, kita tidak melakukan apa yang menjadi passion kita, apa yang menjadi kesenangan kita.

Kalau menurut Pandji dalam bukunya Nasional.is.me : jika kita bekerja, bukan berkarya, kita akan sangat sulit sekali menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Bekerja hanya menggunakan otak, tidak dengan hati. Berkarya, lain lagi. Kita menyerahkan segenap jiwa raga kita (disamping otak kita tentu saja) untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Alhasil, didapatkanlah hasil yang luar biasa darinya.

Wawancara Martin Scorsese yang dimuat majalah Fast Company edisi Desember 2011-Januari 2012 bercerita tentang film terbarunya Hugo yang merupakan film animasi 3D. Scorsese berusia 69 tahun, telah terlibat di dalam 22 film, dan memenangkan satu Oscar. Dalam film Hugo ini, Scorsese bercerita bahwa ada sebuah adegan berdurasi hanya beberapa detik, dan membutuhkan waktu 89 hari untuk me-rendernya. Bayangkan! 89 hari! Dan ia memutuskan untuk tetap tidak menghapuskan adegan itu!

Inilah, kawan, yang menurut saya pantas disebut BERKARYA.

Mike Tyson sang petinju legendaris yang dulu selalu terkenal berhasil meng-KO lawannya sebelum ronde ke-5 selalu berlatih habis-habisan berminggu-minggu sebelum pertandingan tersebut. Jika satu ronde di tinju adalah 3 menit, berarti dia berlatih berminggu-minggu untuk bertanding selama 15 menit.

Usain Bolt, pemegang rekor lari 100 m pria dengan catatan waktu 9,58 detik. Berbulan-bulan menyiapkan dirinya untuk pertandingan. Berbulan-bulan waktu dihabiskan untuk 10 detik pertandingan.

Totalitas inilah agaknya yang membedakan pecundang dari pemenang.

Benar, totalitas. Dan darimana totalitas yang luar biasa ini berasal? Menurut saya, cinta jawabannya.
Karena dengan mencintai pekerjaan kita, semua hal yang dianggap pekerjaan berat hanya akan menjadi permainan yang mengasyikkan.

Dunia akan menjadi taman bermain kita.

Donny Deutsch dalam bukunya The Big Idea mengatakan, inilah petunjuknya :
Saat Minggu malam terasa seperti Jumat malam, maka kamu sudah berada di pekerjaan yang tepat.

Sudahkah Minggu malam kita terasa seperti Jumat malam?

Ayo, mari kita berkarya!

Senin, 28 November 2011
10.10 pm

Kalah Terhormat (?)

Kekalahan Indonesia U-23 dari tim Malaysia U-23 di cabang final sepakbola Sea Games 2011 tanggal 21 November 2011 kemarin agaknya berhasil memberikan “stimulus” yang cukup besar buat saya untuk memutuskan kembali menuangkan pikiran saya dalam tulisan ini. Entah kenapa, semua “unek-unek” di otak ini rasanya harus disampaikan.

Yang membuat saya tidak habis pikir dan yang membuat saya “kesal” adalah setelah kekalahan tersebut, banyak sekali orang yang mengatakan tetap bangga dengan timnas, kalah terhormat, tetaplah pulang dengan kepala tegak, dan kata-kata pujian lainnya seolah timnas adalah tim yang juara malam itu.
Tanpa bermaksud untuk mengecilkan makna perjuangan para pemain timnas, menyinggung pihak manapun dan tanpa mencoba memberikan penilaian terhadap pribadi orang lain, saya hanya merasa bahwa kata-kata pujian itu bukanlah hal yang pantas diterima oleh para pemain timnas. Kalau dengan menjadi juara dua saja timnas kita sudah dipuja-puja seperti itu, kapan mereka akan punya semangat untuk menjadi juara pertama?

PERTAMA. The Absolute Best.

Tidak ada juara dua yang tercatat dalam sejarah, tidak ada orang yang ingat siapa juara dua cabang sepak bola Sea Games 2009 lalu, tidak ada yang ingat juara dua Euro 2008, tidak ada yang ingat siapa juara dua piala dunia 2010.

Herannya, kenapa kita selalu bangga dengan gelar “hampir” tersebut?

Di piala Asia lalu, kita menang 1-0 dari Bahrain, imbang 1-1 dengan Arab Saudi, dan kalah 0-1 dari Korea Selatan. Seusai piala Asia tersebut, semua orang langsung mengatakan perjuangan timnas kita sudah LUAR BIASA. Kita HAMPIR dapat mengimbangi tim-tim besar langganan piala dunia.

Piala AFF 2010, kita lagi-lagi “hampir” menjadi juara. Dan hampir kebanggaan kita yang terbaru adalah kita “hampir” menjadi juara di Sea Games 2011 kemarin.
Pertanyaan selanjutnya, lalu kenapa? Ke mana semua “hampir” itu membawa kita? Bukankah itu hanya kebanggaan semu?

Kalau mau dibilang bahwa juara memang hanya hasil akhir, yang penting kita telah bermain baik. Apakah benar kita bermain baik di Sea Games 2011 kemarin? Kita menang lawan Laos yang memang anak bawang, menang lawan singapura yang 10 pemain, dan Thailand yang 9 pemain. Di kandang sendiri. Kita kalah lawan Malaysia, dua kali. Itu dari segi hasil.

Dari segi teknik permainan? Saya memang bukan dewa sepakbola, tapi rasanya dari segi teknik bermain pun timnas kita tidak bermain secara kolektif, secara taktis. Tidak tercipta sebuah pola permainan yang jelas. Tidak ada operan-operan yang memperlihatkan bahwa ini adalah sebuah gol hasil kerja sama tim. Strategi kita adalah : mengandalkan skill individu alias kecepatan dari penyerang-penyerang kita untuk menerobos pertahanan lawan.

Kemana semua kebanggaan “hampir” menang tersebut membawa kita? Tidak kemana-mana menurut saya, kecuali membawa kita ke kepuasaan diri yang terlalu dini.

Saya bakal cinta timnas Indonesia, sampai mati. Karena itu saya menulis tulisan ini.
Ini sumbangan saya, yang walaupun mungkin tidak banyak berarti, tapi semoga bisa memberikan pandangan baru, pola pikir baru terhadap cara kita melihat kemenangan atau kekalahan.

Supaya timnas kita bisa Berjaya, menjadi yang nomor 1. Bukan hanya HAMPIR nomor 1.

Rabu, 23 November 2011
11.50 pm

07 Januari 2011

Gerakan Melawan Lupa

Lupa..lupa..
Sama Munir..

Lupa..lupa..
Sama Sipadan dan Ligitan..

Lupa..lupa..
Sama Susno..

Lupa..lupa..
Sama kasus Bank Century..

Lupa..lupa..
Sama pengusutan lumpur Lapindo..

Lupa..lupa..
Lagi-lagi lupa..

sama banyak hal yang sudah lewat.
Euforia sesaat.
Padahal,keledai saja tidak jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya,karena dia INGAT dulu pernah jatuh di situ. Maka ia tidak jatuh lagi.

Ayo..ayo..JANGAN LUPA!

Jangan lupa tanya :
Apa kabar Sri Mulyani di Amerika? Tambah baguskah kerjanya? Dia mengharumkan nama Indonesia?

Apa kabar Susi Susanti sekarang? Enakkah hidupnya? Hidup atlet yang pernah mengharumkan nama bangsa Indonesia tercinta ini.

Apa kabar Antasari Azhar di penjara? Betulkah keadilan ditegakkan?


Pasti sudah lupa kan? Pasti tidak tahu kan kabar mereka?

Ayo..ayo ingat terus..

Ayo cari tahu terus..

Ayo jangan lupa..